Selasa, 14 Oktober 2008

Peran Ibu Terhadap Tayangan Televisi

PEMERINTAH Indonesia telah memperhatikan dan begitu komitmen dalam memberdayakan kaum wanita, yaitu dengan adanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Selain itu anggota parlemen kini banyak diisi kaum perempuan, termasuk politisi wanita dari berbagai latarbelakang disiplin ilmu. Pada bidang pemerintahan yang paling kecil, yaitu ketua RT sampai Gubernur (Rt Atut Chosiyah), bahkan Presiden (Megawati) yang bagi sebagian negara besar seperti Amerika itu belum dilakukan.
Sedemikian besar peranan seorang ibu, maka tidaklah salah apabila keberadaannya dalam keluarga menjadi semakin berat dalam mendidik anak, terutama saat ini dimana perkembangan teknologi yang begitu maju dan pesat mengakibatkan anak-anak tidak saja mendapat didikan dari orangtuanya tetapi juga mendapat pengaruh dari lingkungan luar yang tidak semuanya bermuatan positif.
Hal yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah terpaan yang didapat dari media massa, khususnya televisi. Bahkan sudah banyak para ahli yang “mewanti-wanti” akibat yang akan ditimbulkan dari isi pesan dalam tayangan media televisi akan sangat dahsyat.

Pesan satu arah
Di kota-kota besar Indonesia termasuk daerah yang sudah mendapatkan aliran listrik terutama sejak program listrik masuk desa yang dicanangkan pada era orde baru, perkembangan pemilikan pesawat televisi terutama sejak stasiun televisi (TVRI) mengudara pada tahun 1960-an grafiknya meningkat terus.
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sering disebut era informasi, disatu sisi telah memunculkan harapan-harapan baru yang positif, namun sisi lain adalah dampak negative dari isi (content) muatan teknologi tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia kegemaran menonton televisi merupakan bagian tidak terpisahkan (berkorelasi) dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Kebiasaan membaca (Reading habbit) yang masih rendah menjadi salah satu faktor meningkatnya seseorang lebih cenderung mendengar dan melihat ketimbang membaca. Hal tersebut ditambah lagi dengan karakeristik televisi yang audio-visual memungkinkan televisi mudah dicerna. Sebagaimana proses komunikasi dari Claude D. Shannon dan Warren Weaver yang digambarkan sebagai proses linier dan searah. Pesan diumpamakan mengalir dari sumber informasi (information source) melalui beberapa komponen menuju kepada komunikan. Karena sifatnya yang satu arah dan serentak (simultan), siaran televisi dalam sepak terjangnya bagaikan obat bius yang bila disuntikkan kepada pasien menjadi tidak berdaya. Seperti teori Jarum Hypodermic, dimana idividu-individu bersifat pasif, terikat pada media dan individu yang pasif itu terpisah hubungan sosialnya
Di depan televisi, seseorang dengan tingkat pendidikan apapun mampu menghabiskan waktu luangnya dengan duduk santai menonton televisi. Karena isinya yang beragam dan “menarik”, seorang anak bahkan bisa menghabiskan waktunya berjam-jam di depan kotak ajaib tersebut.
Maka tak heran Mc Luhan dengan rumusnya yang terkenal mengatakan bahwa “Medium is the message”, artinya bagaimana pengaruh pesan menerpanya atas kehidupan komunikan atau penonton, tergantung dari penggunaan media.

Dampak tayangan TV

Seiring dengan banyaknya jumlah stasiun radio dan televisi yang bermunculan, kini timbul pula permasalahan baru yaitu bagaimana dengan isi dari pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa tersebut. Apakah layak untuk disiarkan? Mengingat dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa melalui pesan-pesan komunikasinya cukup besar.
Sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak berarti semua lapisan usia penontonnya termasuk anak-anak.Jurnalis Amerika Paul Johnson menyebutkan bahwa salah satu dosa dari kebebasan dunia televisi adalah meracuni benak pikiran anak-anak. Selain itu berupa distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, menggangu privasi,pembunuhan karakter, eksploitasi seks,dan penyalahgunaan kekuasaan (Republika, 2006).

Kekhawatiran akan dampaknya yang negative dari televisi terhadap anak bukan saja dilihat dari segi isi tetapi juga lamanya mereka menghabiskan waktunya. Prestasi belajar seorang anak menurut penelitian di Kota Yogyakarta ternyata berpengaruh terhadap prestasi belajar di sekolah. Untuk hal ini, beberapa wilayah di Kota Yogyakarta sedikit lebih maju dengan menerapkan waktu menonton televise bagi anak-anak sekolah ditentukan waktunya,dengan jadwal waktu belajar dan menonton televisi diatur dan dikendalikan orang tua dan rukun tetangga.

Sebagai Gatekeeper
Menurut B. Guntarto, Kepala Kajian Anak dan Media YKAI menyebutkan kuantitas program televisi untuk anak meningkat setiap tahunnya. Frekuensi penayangannya perminggu, bahkan per hari, juga makin tinggi. Padahal telah diungkapkan dari berbagai literatur bahwa frekuensi menonton anak tidak lebih dari 2 jam per hari.
Menghadapi fungsi mempengaruhi inilah yang bagi pemerhati perlunya televisi sehat, sebagaimana di Jakarta satu tahun lalu telah diluncurkan “Kampanye Televisi Sehat (KTS)” yang merupakan kerjasama Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Komunitas TV Sehat, dan badan PBB yang menangani masalah anak (UNICEF). Dalam pertemuan tersebut KTS mengajak stasiun televisi memperhatikan kualitas programnya dan masyarakat harus menerapkan budaya nonton televisi yang sehat.
Disinilah betapa pentingnya peran seorang ibu dalam menerapkan budaya menonton. Seorang ibu yang bijak dan berpendidikan akan lebih memahami apa dan bagaimana seharusnya dalam mendidik putra-putrinya dihadapan “kotak ajaib” yang selalu menggodanya.
Selain itu, walaupun sesibuk apapun seorang ibu, yang ideal memang ia diharapkan selalu dekat dengan buah hatinya, sehingga mampu berfungsi sebagai seorang gatekeeper. Gate keeper menurut Kurt Lewin dalam buku “Human Relations” (1974),yaitu istilah yang mengacu pada proses, bahwa suatu pesan berjalan melalui berbagai pintu, selain itu juga pada orang atau kelompok yang memungkinkan pesan lewat. Gatekeepers dapat berupa seseorang atau satu kelompok yang dilalui suatu pesan dalam perjalanannya dari sumber kepada penerima.
Seorang ibu yang berfungsi sebagai gatekeeper akan menyaring pesan yang diterima termasuk dari televisi dan mungkin akan memodifikasi dengan berbagai cara dan berbagai alasan,serta membatasi pesan yang diterima.
Jam tayang televisi yang menyiarkan adegan-adegan berbau seks, kriminal dan kekerasan dapat dieliminir dengan lebih memfungsikan peranan seorang ibu terhadap anak-anaknya lebih bijaksana, sehingga anak-anak sebagai generasi penerus bangsa tidak teracuni oleh kehadiran televisi dari aspek pesan negatifnya.
Kini dengan hadirnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik yang ada di pusat dan di daerah, peranan KPI/KPID akan memberikan harapan baru kepada orangtua karena KPI/KPID mempunyai misi sebagaimana amanat undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang meliputi bidang kelembagaan, isi siaran dan struktur pernyiaran (perizinan).
Yang dirasakan penting bagi peran yang diemban KPI/KPID saat ini adalah memantau maraknya pemberitaan tentang efek tayangan kekerasan. Ini menyangkut isi siaran yang meliputi pemantauan, pengaduan, pemberian sanksi atas pelanggaran, media literacy, diskusi/konseling dengan publik dan industri penyiaran.
Melihat dampak yang muncul di masyarakat akibat isi siaran, sudah sewajarnya kita semua, seluruh elemen masyarakat termasuk peran ibu di dalam mendidik anak- akan lebih bermakna bilamana hal tersebut ditindaklanjuti dengan peran KPI/KPID, yang susunan anggota-anggotanya memiliki kompetensi dan integritas yang tidak diragukan lagi di bidangnya. Mereka diharapkan mampu berkiprah dalam membangun moralitas penyiaran yang sehat. Semoga

Tidak ada komentar: