“Anak-anak, di manapun mereka berada, bagaimanapun kondisi yang telah mengguncangnya, adalah generasi penerus. Mereka adalah wajah kita di masa depan. Mari kita jaga agar mereka tetap ceria meraih masa depan”. (Republika, Jumat 14 Januari 2005, Kolom GERAI).
Pernyataan di atas merupakan kalimat yang cukup menyentuh hati kita untuk diresapi lebih dalam lagi. Persoalan anak-anak sepertinya tidak dialami oleh hanya para orang tua mereka saja, tetapi juga bagi kita yang merasa bahwa persoalan anak-anak merupakan persoalan semua pihak. Lalu kita tentu akan bertanya persoalan apakah yang mengitari mereka? Mengapa sampai perlu dibahas lebih jauh lagi?
Anak-anak adalah identik dengan jiwa yang bersih, belum terkontaminasi oleh hal-hal yang mestinya belum perlu mereka alami. Terbayang oleh kita bagaimana kata “anak” mencerminkan jiwa yang lugu, polos, apa adanya. Tentunya kita tidak ingin keadaan seperti itu berubah menjadi sebaliknya. Semestinya biarkan mereka tumbuh dalam keadaan yang benar-benar alamiah, tanpa pemaksaan baik yang disengaja ataupun tidak. Tapi apakah di jaman modern seperti sekarang ini kita bisa mempertahankan cara mendidik seperti itu? Tentu saja itu sulit sekali dilakukan, mengingat perkembangan alat-alat elektronik yang begitu pesat dan canggih. Sebut saja seperti VCD, radio, komputer, televisi dan lain lain.
Yang disebut belakangan merupakan satu sarana yang bisa membuat seorang anak menjadi lebih cepat matang sebelum waktunya. Taruhlah seorang anak yang berumur 3 tahun yang masih terbata-bata bicaranya, bila mereka sering menonton televisi dengan frekuensi yang sering maka perbendaharaan kata mereka cenderung akan bertambah dengan cepat sekali. Bahkan mungkin saja tindakan yang mereka lakukan mirip dengan apa yang pernah mereka tonton.
Yang paling sederhana adalah pengalaman sebuah keluarga, sebutlah keluarga E. Keluarga ini mempunyai dua orang anak, yang berusia 4 tahun dan 1,5 tahun. Perilaku anaknya yang berusia 4 tahun itu awalnya biasa saja, lembut, gerakannya teratur. Tetapi beberapa waktu kemudian, perilakunya berubah menjadi lebih agresif setelah sering menonton film anak-anak “ULTRAMAN”.
Gerakan-gerakannya menjadi lebih cepat, tangkas, bahkan nyaris tanpa sadar cenderung mau memukul siapa saja yang ada di hadapannya. Sasaran yang menurutnya paling enteng adalah adiknya sendiri, yang baru berusia 1,5 tahun itu. Bahkan orang tuanya merasa perlu untuk terus mengawasi adiknya agar tidak berada dekat dengan kakaknya.
Yang diharapkan sebenarnya seorang kakak mestinya bisa menjaga adiknya, atau paling tidak mereka dapat main berdua. Ini hal yang memang perlu ditanamkan sejak kecil, tetapi itu semua kini sulit dilakukan kerena dikalahkan oleh tayangan-tayangan di televisi. Terbayang oleh kita bahwa film kartun adalah film yang penuh dengan cerita lucu dan menarik, tetapi ternyata kini tidak semuanya demikian. Banyak film kartun yang gambarnya lucu tetapi isi ceritanya sebenarnya memuat juga pesan-pesan untuk orang dewasa. Ini tentunya sudah tidak cocok lagi ditonton oleh anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun. Tapi apa hendak dikata, tayangan-tayangan tersebut diputar pada jam saat seorang anak usia balita harus makan pagi.
Dan kecenderungannya, kini anak – anak tersebut makan sambil menonton televisi, dengan alasan kuat kalau tidak demikian maka makannya akan susah. Kalau sudah demikian maka akan sulit untuk merubahnya kembali, karena anak sudah terpolakan untuk duduk manis di depan televisi dengan “remote” di tangannya, menonton televisi sambil makan. Melihat gejala demikian tentunya membuat kita miris juga. Bagaimana seorang anak tidak akan terkontaminasi, bila hal itu dilakukan terus menerus hingga menjadi suatu kebiasaan yang sudah terpolakan dalam otak seorang anak. Maka, tidak aneh apabila di surat kabar banyak bermunculan berita-berita tentang anak-anak yang melakukan kejahatan atau kekerasan .
ELEANOR E. MACCOBY, seorang psikolog dan mengajar di Stanford University, mengatakan bahwa hanya diperlukan satu dekade saja untuk membuat televisi menjadi bagian kebutuhan di hampir setiap rumah-rumah di Amerika. Begitu kuatnya efek televisi pada anak-anak sehingga membuat berubahnya perilaku anak-anak tersebut.
Menurut Maccoby, ada dua pendapat yang menyorot tentang televisi, yaitu pertama pendapat dari orang-orang yang pesimis, mereka sangat khawatir televisi dapat merusak pendangan anak-anak dengan tayangan-tayangannya yang bersifat kekerasan dan kejahatan. Tayangan-tayangan tersebut akan sangat mempengaruhi anak-anak dalam bertindak. Kedua, pendapat dari orang-orang yang optimis, mereka percaya bahwa televisi dapat mendidik anak-anak. Dapat memberikan mereka kesempatan untuk belajar tentang ilmu pengetahuan dan tentang kehidupan manusia di tempat-tempat atau di daerah-daerah lain. Ditegaskan oleh Maccoby bahwa belajar dengan cara demikian (audio-visual) akan menjadi suatu hal yang menyenangkan.
Bila terpaan televisi pada anak-anak ini hanya menjadi persoalan bagi para orang tua dan hanya beberapa gelintir orang yang peduli pada hal itu, maka masalahnya sulit untuk dibenahi.
Sebenarnya pihak yang memang benar-benar perlu dilibatkan adalah pihak stasiun televisi itu sendiri. Pihak televisi punya wewenang menentukan layak atau tidaknya sebuah acara ditayangkan. Di sinilah sebenarnya diperlukan orang yang benar-benar punya tanggungjawab moral yang tinggi. Bila orang yang ditempatkan di sini adalah orang yang tepat, maka dia akan memikirkan lebih dahulu bagaimana bila sebuah film ditayangkan? Apa pengaruh yang akan ditimbulkan? Apakah pantas ditayangkan pada jam anak-anak? Bagaimana jenis filmnya?
Bila film itu adalah film kartun, tetapi di dalamnya terselip pesan-pesan untuk orang dewasa, maka sebaiknya segera diambil keputusan film tersebut tidak ditayangkan pada jam tayang anak-anak. Seperti yang pernah terjadi sekitar tahun ’90 an, yaitu film kartun “THE SIMPSON’s”. Film ini menceritakan tentang sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami isteri dengan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Sebenarnya film kartun ini bila dilihat dari bentuk gambarnya lucu dan menarik, dengan ciri khas si ibu memiliki rambut yang disasak tinggi, si ayah dengan kepala botaknya, dan anak-anaknya dengan rambut yang dibentuk tajam ke atas.
Bila kita hanya melihat gambarnya sudah pasti kita akan langsung mengatakan bahwa itu film anak-anak. Tetapi sebenarnya tidak begitu. Film “The Simpson’s” , ternyata lebih banyak memuat pesan-pesan untuk orang dewasa. Itulah sebabnya setelah ada kritikan, barulah akhirnya film tersebut dipindahkan jam tayangnya, yang semula diputar pada pukul 18.00 menjadi pukul 23.00. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua film kartun merupakan film anak-anak.
Pengaruh televisi pada anak-anak memang sulit untuk dihindari. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Deppen-RI dalam Laporan Pengaruh Sosial Budaya dari Komunikasi Satelit (II), Proyek Penelitian RI 1977-1978, bahwa :
“Akibat lain daripada masuknya televisi di desa adalah banyaknya anak-anak yang meninggalkan pelajaran mengajii karena mereka lebih tertarik untuk menonton acara siaran anak-anak (kartun dan sebagainya). Sebahagian anak-anak juga mengikuti acara-acara pertunjukan televisi sampai larut malam, yang menyebabkan mereka tidak lagi mempunyai waktu untuk belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah. Akibatnya sebagaimana diceritakan oleh beberapa orang guru, bertambah murid-murid yang membolos, zmengantuk di kelas, dan mundur pelajarannya”.
Kalau yang dimaksud adalah pengaruh positif memang tidak perlu untuk dikhawatirkan, tetapi bila pengaruh itu negatif seperti yang terjadi di desa di mana Deppen RI -saat itu-mengadakan penelitian, maka itulah yang menjadi masalah.
Saat ini, sudah ada stasiun televisi yang mencantumkan kode-kode tertentu di ujung layar bila suatu acara tertentu sedang ditayangkan. Kode-kode tersebut adalah : D (dewasa), SU (semua umur), dan DO (didampingi orang tua) atau BO (bimbingan orangtua). Ini bisa dikatakan sebagai suatu langkah maju dalam mengantisipasi menyebarnya informasi yang tidak pantas diserap oleh anak-anak. Dengan kode-kode tersebut, para orang tua mudah mengetahui jenis acara mana yang cocok ditonton oleh anak-anak mereka.
Menurut ELEANOR E. MACCOBY, agar anak-anak tidak terlalu kena pengaruh negatif dari tayangan-tayangan televisi, maka perlu diperhatikan :
1. Kapan anak-anak punya batas waktu menonton televisi?
2. Berapa lama mereka melewatkan waktunya untuk menonton televisi?
3. Jenis program apa yang mereka tonton?
Bila kita memperhatikan point-point pertanyaan di atas dan menjawabnya sendiri, maka sepertinya para orangtua tidak perlu merasa khawatir akan pengaruh kuat televisi pada perilaku anak-anak mereka, karena orangtua turut berperan serta dalam mengawasi apa yang patut dan tidak patut ditonton oleh anak-anak mereka. Masalahnya sekarang adalah sampai sejauhmana kepekaan orangtua dalam memilih, memilah dan memperhatikan tayangan-tayangan televisi yang sedang ditonton anak-anak mereka di rumah. Tentunya tidak ada satupun orangtua yang ingin anaknya terpengaruh oleh pesan-pesan negatif televisi.
Selasa, 14 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar