Selasa, 14 Oktober 2008

Iman & Komunikasi Transendental

Bulan ramadhan adalah bulan yang suci, bulan pintu maaf yang dibuka selebar-lebarnya oleh Allah SWT bagi mereka yang menjalankan ibadah, berbuat amalan saleh, juga bagi mereka yang bertaubat. Bulan ramadhan bulan yang penuh berkah, dimana di dalamnya terdapat malam lailatul qadr pada 10 hari terakhir, yaitu malam seribu bulan yang nilai pahalanya berlipat ganda. Suatu hal yang merugikan bila bulan yang suci ini dilewatkan begitu saja tanpa diisi dengan beribadah kepada Allah SWT.
Bagi umat muslim, cara mendekatkan diri pada Allah SWT tentu bermacam-macam, yaitu dengan shalat lima waktu, berpuasa, shalat sunat, berdzikir, menunaikan zakat, beribadah haji, infaq, sadaqah, dll. Semua itu adalah bentuk ibadah, yang dilakukan oleh umat muslim untuk mencari ridlo Allah SWT.
Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang berbunyi : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan Shalat, dan menunaikan Zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (beriman) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”
Dalam disiplin Ilmu Komunikasi, bentuk pendekatan diri pada Sang Maha Pencipta disebut Komunikasi Transendental. Komunikasi transendental adalah komunikasi yang dilakukan atau yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, partisipan dalam komunikasi transendental adalah Tuhan dan manusia.
Antar manusia dengan tuhan
Pembahasan secara khusus mengenai komunikasi transendental (selain Al-qur’an dan hadits) memang tidak banyak. Itu pun diakui oleh seorang pakar Ilmu Komunikasi, Prof. Dr. Deddy Mulyana, MA. Walaupun ada, cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam bidang agama.
Lebih lanjut Deddy mengatakan, meskipun komunikasi transendental paling sedikit dibicarakan dalam disiplin Ilmu Komunikasi, karena sifatnya yang tidak dapat diamati secara empiris, justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia, karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia tetapi juga di akhirat.
Dari pemaparan di atas, kita sudah memiliki gambaran apa sebenarnya komunikasi transendental. Pertanyaan selanjutnya adalah apa feedback dari komunikasi transendental dan apa efek yang diharapkan dari komunikasi transendental bagi mereka yang melakukannya.
Tanda-tanda atau lambang-lambang dari komunikasi transendental, yaitu ayat-ayat Qur’aniyah (firman Allah SWT) dan ayat-ayat Kauniyah (alam semesta dan seisinya).
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imron, ayat 190 – 191 : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Yang terkandung dalam ayat ini adalah betapa Allah SWT kuasa menciptakan langit dan bumi. Bagaimana kita tidak terkagum-kagum dengan melihat isi alam semesta ini. Langit yang penuh dengan bintang-bintang bertebaran di malam hari. Benda gemerlap ini bagaikan titik sinar, yang pada ukuran sebenarnya adalah seukuran matahari, bahkan mungkin ada yang lebih besar dari matahari.
Bumi yang bulat beredar mengelilingi matahari sesuai orbitnya, dengan kecepatan yang konstan. Isi bumi yang dihuni oleh manusia ini punya kelebihan-kelebihan dibanding planet-planet yang lain, itulah yang menyebabkan manusia hanya dapat hidup di planet bumi ini. Hutan yang hijau, barang tambang yang tersimpan dalam perut bumi, udara yang diperlukan, air yang berlimpah, dan masih banyak lagi rizki yang Allah limpahkan bagi manusia di muka bumi ini.
Dengan kasih sayang yang telah Allah berikan itu, tentu tidaklah pantas apabila kita tidak merasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia. Bila ditelaah, Galaksi Bima Sakti berdiameter 80.000 tahun cahaya. Di dalam galaksi seluas ini terdapat sebanyak 100 milyar bintang-bintang sebesar matahari. Lalu apa arti kita sebagai manusia bila dibandingkan dengan segala ciptaan Allah yang ada di alam semesta ini? Tentu saja manusia hanyalah bagian kecil dari kehidupan alam semesta ini. Melihat ini masih akankah kita mengingkari segala kebesaran-Nya?
Firman Allah yang disebut berulang-ulang terdapat dalam surat Ar-Rahman, salah satu diantaranya pada ayat 13, yaitu : “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Allah SWT tentu punya maksud dengan menyebut kalimat tersebut berulang-ulang sampai 30 kali hingga di akhir surat.
Surat ini memberi peringatan kepada manusia untuk selalu ingat akan kebesaran Allah, akan nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia agar manusia tidak angkuh, tidak sombong atas apa yang telah diperolehnya. Semua yang dimiliki hanyalah titipan belaka selama hidup di dunia, karena hidup yang sebenarnya adalah hidup sesudah mati atau alam akhirat.
Sarana ibadah
Dengan berpegang pada Al-Qur’an akan makin mendekatkan manusia pada Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Apabila manusia sudah mencapai tahap ini, maka yang ingin dilakukan adalah terus beribadah pada-Nya. Entah itu ibadah shalat yang wajib atau bentuk ibadah lainnya, seperti shalat sunat, berdzikir, dll. Seringnya frekuensi komunikasi yang dilakukan antara manusia dengan Tuhannya, akan makin meningkatkan kepekaan hati manusia terhadap tanda-tanda atau lambang-lambang kebesaran Allah SWT.
Bathin yang telah terasah oleh kalimat-kalimat Allah membuat tidak ada lagi tirai pembatas antara manusia dengan Tuhannya. Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Umar Bin Khattab, berkata : “Hatiku telah melihat Tuhanku karena hijab (tirai) telah terangkat oleh taqwa. Barangsiapa yang telah terangkat hijab (tirai) antara dirinya dan Allah, maka menjadi jelaslah di dalam hatinya akan gambaran kerajaan bumi dan kerajaan langit”.
Rupanya dengan ketaqwaanlah akan mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Ketaqwaan seseorang akan tercermin dalam sikapnya sehari-hari. Hatinya akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Selanjutnya dia akan menitikkan air mata, bahkan menangis tersedu menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Sang Maha Pencipta. Inilah feedback dari komunikasi transendental.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan dialog yang sebenarnya terjadi antara manusia dengan Tuhannya saat sang hamba membaca surat Al-Fatihah, yaitu; Seorang hamba berkata : “Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam”.
Allah menjawab : “Hamba-Ku telah memuji-Ku”.
Sang Hamba berkata : “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Allah menjawab :” Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”.
Sang hamba berkata : Raja yang menguasai hari pembalasan”.
Allah menjawab : “ Hamba-Ku telah memuliakan-Ku”.
Sang hamba berkata : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
Allah menjawab : “Ayat ini antara Aku dan hamba-Ku setengah-setengah dan hamba-Ku berhak atas apa yang ia minta”.
Sang hamba berkata : “Tunjukilah aku ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang sesat”.
Allah menjawab : “Itu semua untuk hamba-Ku dan hamba-Ku berhak atas apa yang ia minta”.
Bisa kita rasakan keindahan dialog ini, bagaimana Allah SWT menjawab saat seorang hamba memuji-Nya. Memang manusia tidak akan mendengar suara Allah SWT melalui telinganya, tetapi sekali lagi dengan mata hati yang telah terasah tajam, suara itu akan terdengar di dalam lubuk hatinya. Bahkan kata ahli sufi Islam Jalaludin Rumi, “Mata hati punya kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran daripada dua indera penglihatan”. Kalau bathin seseorang sudah merasa dekat dengan Allah, maka Allah tidaklah jauh darinya tetapi kedekatannya ada di urat lehernya.
Lalu bagaimana dengan efek yang diharapkan dari komunikasi transendental ini? Efek yang diharapkan tidak lain dan tidak bukan tentu saja perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih sabar dan tawakal, setiap langkah yang diayunkan adalah tuntunan dari Allah SWT. Bulan ramadhan ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk memulainya, apalagi kita sudah memasuki 10 hari terakhir, saatnya kita mencari lailatul qadr. Sanggupkah kita mencapai tingkat itu? Semoga !

Tidak ada komentar: