Selasa, 14 Oktober 2008

Memaknai Kemerdekaan Masa Kini

TEPAT tanggal 17 Agustus 2007 yang baru lalu, negara Indonesia sudah 62 tahun menghirup udara kemerdekaan. Bila dipadankan dengan manusia, maka dalam usia ini sudah memasuki tahap yang matang secara mental, yang memberi kesan mapan, teratur. Dan hal ini pula yang sangat diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, bangsa Indonesia. Namun, lagi-lagi tiada sesuatu yang sempurna, apalagi manusia. Sama halnya dengan Negara, yang bagaimanapun juga pengaturnya adalah juga manusia. Manusia yang penuh kekurangan disana-sini, walaupun memang ada juga kelebihannya. Manusia yang punya kepentingan, manusia yang punya ego. Kiranya untuk ini diperlukan orang-orang yang dapat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Siapapun dia, bangsa apapun dia, akan selalu mendambakan negaranya selalu aman, tenang, tentram dan damai. Rakyat dapat hidup layak, pemerintah bersikap transparan dalam menjalankan kebijakannya, ekonomi stabil, politik stabil, hukum benar-benar dijalankan dan hidup beragama pun dapat dijamin keamanannya oleh negara, sehingga negara yang paripurna dapat terwujud. Tapi untuk mewujudkan hal itu perlu pengorbanan dan kerja keras serta adanya komitmen yang kuat dari setiap lapisan masyarakat .
Apalagi bila ditelaah, bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau, dengan keanekaragaman bahasa yang jumlahnya mencapai 583 dan juga suku bangsa yang jumlahnya mencapai 485. Tiada bangsa lain di dunia yang memiliki keragaman bahasa dan suku bangsa melebihi Indonesia. Di satu sisi kita patut berbangga hati tapi di sisi yang lain kita juga mesti berhati-hati dengan jumlah suku bangsa dan bahasa yang sangat banyak ini. Sebab tentu saja akan berbeda dalam penanganannya dan jelas lebih sulit.
Menangani sebuah negara yang masyarakatnya homogen saja sudah cukup rumit apalagi yang masyarakatnya heterogen dan dengan jumlah penduduk yang sudah mencapai 225 juta , diperlukan strategi yang tepat untuk mengaturnya. Selain strategi, maka yang pertama-tama penting dilakukan adalah menempatkan orang yang juga tepat untuk mengaturnya. Kiranya teori manajemen mengenai the right man on the right place penting juga untuk sungguh-sungguh diterapkan, atau untuk sekedar sebagai warning, meminjam hadist nabi yang mengatakan, bahwa bila suatu perkara diselesaikan oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Klop sudah bila antara teori dan paktik dapat kita sandingkan bersama.

Mengukur kemajuan
Dengan usia kemerdekaan yang sudah 62 tahun, perlu juga kita bertanya, kemajuan apa yang sudah dicapai Indonesia hingga saat ini? Tentunya untuk menjawab pertanyaan ini yang paling objektif adalah rakyat, bukan siapa-siapa. Sudahkah mereka merasa hidup layak? Sudahkah hukum melindungi mereka? Sudahkah para buruh mendapat gaji yang sesuai dengan aturan UMR? Bagaimana dengan para guru, apakah mereka sudah mendapat perhatian yang cukup? dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu bangsa.
Kemajuan disini bukan saja kemajuan secara fisik dengan adanya pembangunan gedung-gedung yang tinggi dan megah, tetapi juga kemajuan mental berpikir para pengatur, pengelola dari setiap kalangan, yaitu birokrat, ulama, pengusaha, tokoh masyarakat, seniman, budayawan, guru, dosen dll.
Bahkan Samuel Huntington (2000) mengatakan bahwa kemajuan suatu bangsa itu tergantung pada produktivitasnya, sedangkan produktivitas amat sangat bergantung pada insentif yang diterima oleh pekerja. Dilematis memang, bila para buruh diwajibkan memberikan hasil yang maksimal dalam pekerjaannya, maka tentunya ada hak yang harus mereka terima sesuai dengan tenaga yang telah mereka keluarkan. Lalu bagaimana bila rakyat tidak merasa puas? Hasilnya dapat kita simak sendiri banyaknya media massa, baik cetak maupun elektronik yang memuat tentang demonstrasi para buruh. Sebut saja kasus pabrik sepatu PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) dan PT Naga Sakti Parama Shoes Industry (NASA), beberapa waktu lalu, yang sudah tidak mendapat kontrak order lagi dari Nike, sehingga menyebabkan pemiliknya- Hartati Murdaya- berpikir keras untuk tetap memenuhi kewajibannya membayar gaji untuk ribuan karyawannya. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain dengan skala nasional, seperti PT Dirgantara Indonesia, kasus Lapindo Brantas yang belum tuntas juga dengan isu ganti rugi sengaja diulur.
Ahmad Syafeii Maarif berpendapat tentang kasus ini bahwa tidak tampak upaya yang benar-benar serius dari pihak yang terlibat untuk mengatasinya (Republika,14 Agustus 2007). Atau bahkan demo para guru yang menuntut ditingkatkannya kesejahteraan bagi para guru, serta tuntutan agar bidang pendidikan nasional mendapat jatah 20% dari APBN, juga yang kini sedang marak di Banten adalah para Guru Bantu Sosial (GBS) yang menuntut untuk diangkat menjadi PNS.
Kiranya benar juga, teori dan praktik sebaiknya memang seiring sejalan. Abraham Maslow sudah mendeteksinya sejak awal dengan teorinya yang terkenal yaitu Teori Hirarki. Menurutnya manusia adalah manusia bukan mesin produksi. Manusia punya hati dan perasaan, dan manusia punya lima tingkatan kebutuhan yang penting untuk dipenuhi dan disusun berdasarkan skala prioritas, yaitu kebutuhan akan sandang-pangan, kebutuhan akan rasa aman, cinta, kebutuhan untuk dihargai dan terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Semestinya setiap kalangan dapat menerapkan teori Maslow ini, sehingga mungkin saja permasalahan yang muncul tidaklah terlalu berat, karena dengan teori ini manusia dianggap sebagai sosok yang patut untuk dihargai. Bila diterapkan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari adalah bagaimana setiap kalangan, baik itu birokrat, pengusaha, ulama, tokoh masyarakat, seniman, budayawan dan lain-lain mengawali segala sesuatunya dengan komitmen tinggi untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain terutama rakyat kecil dan bekerja dengan hati nurani, begitu kata Todung Mulya Lubis yang seorang ahli hukum. Ternyata ini sejalan juga dengan apa yang dikatakan Jalaludin Rumi- yang seorang sufi. Rumi menganggap bahwa hati nurani 70% mengatakan kebenaran.
Bila teori Maslow diterapkan oleh seorang manajer, maka semestinya dapat memperlakukan para karyawan atau buruhnya dengan baik. Tidak hanya sekadar memberikan gaji secara rutin lalu permasalahan selesai, tetapi juga memperhatikan kenyamanan dalam bekerja, lingkungan kerja yang bersih, ventilasi yang cukup sehingga udara tetap segar, menyediakan tempat untuk beribadah, selalu mengadakan kontak komunikasi dengan para karyawan dan buruhnya, bahkan memberikan penghargaan bagi karyawan atau buruh yang telah menunjukkan hasil kerja yang baik. Jadi yang dicari bukan hanya semata-mata keuntungan dan mementingkan diri sendiri. Sedangkan bagi para guru atau dosen, adalah menanamkan niat yang kuat dalam hati dan pikirannya untuk bukan hanya sekedar mengajar tetapi juga mendidik. Tugas mulia seorang pendidik adalah bagaimana membuat anak didik yang cenderung punya sikap memberontak saat masuk sekolah menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab setelah lulus, atau anak didik yang memang sudah baik maka setelah lulus menjadi lebih baik lagi. Perlu diingat pula bahwa peran pendidik adalah pengganti orangtua mereka saat mereka berada di sekolah. Begitu pula dengan kalangan yang lain kiranya dapat juga menerapkan teori ini dengan sungguh-sungguh, sebab sikap empati kita terhadap orang lain biasanya dapat membuat orang lain lebih menghargai kita.

Tanggungjawab kemanusiaan
Bila kembali direnungi lebih dalam lagi menurut Syafii Maarif sebenarnya kemerdekaan juga mengandung makna tanggung jawab kemanusiaan bagi mereka yang teraniaya. Lalu jika sampai saat ini masih banyak pihak-pihak yang teraniaya, apakah kemerdekaan yang seutuhnya sudah kita raih?. Saat ini Rakyat masih harus antri minyak goreng yang harganya terus membumbung, bahkan diprediksi sulit untuk turun. Dan kini ditambah dengan masalah lain lagi dimana lagi-lagi rakyat kecil yang kena getahnya dengan naiknya harga minyak tanah. Masyarakat bawah sudah terbiasa memasak dengan menggunakan minyak tanah, itu sudah nyaman bagi mereka. Bila akhirnya pemerintah menginginkan mereka merubah kebiasaan dengan memasak dengan kompor gas tentu saja harus diawali dengan sosialisasi lebih dahulu melalui kampanye yang cukup lama dan intensif, tidak tiba-tiba.
Kiranya memang sulit untuk mengisi alam kemerdekaan yang diraih dengan susah payah oleh para pejuang kemerdekaan kita dahulu. Kalau dahulu yang mereka hadapi adalah musuh yang harus dilawan dengan senjata tajam, tetapi kini untuk mengisi kemerdekaan harus dihadapi dengan pikiran yang brilian dan disertai dengan hati nurani sebab yang dihadapi adalah musuh-musuh yang mampu menggoyah karena punya kekuasaan dan kemampuan ekonomi yang kuat. Semoga dari jumlah penduduk Indonesia yang 225 juta jiwa ini masih ada calon-calon pemimpin yang cerdas, bijak dan punya sensitivitas yang tinggi terhadap rakyat kecil untuk mampu membawa negara Indonesia menjadi negara yang diidam-idamkan, yaitu gemah ripah loh jinawi.

Tidak ada komentar: