Senin, 13 Oktober 2008

Hikmah & Amaliah Setelah Pulang Haji

“LABBAIK Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik. Innalhamda wanni’mata laka walmuka, la syarikalak”.

“Aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu“.

Kalimat Talbiyah kerap ducapkan bagi mereka yang sedang menunaikan ibadah haji. Kalimat ini akan sangat menyentuh mata hati bagi mereka yang sungguh-sungguh menikmati semua tahapan prosesi ibadah haji, baik itu yang dilalui dengan kesulitan maupun kemudahan. Saat kita mendapat kesulitan, diterima dengan lapang dada, dengan jiwa besar, yakin bahwa ini adalah ujian dari Allah SWT. Begitu juga kemudahan yang kita terima saat berada di tanah suci tidak langsung membuat kita takabur, tapi kita sikapi dengan terus bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh-Nya. Pendek kata, apapun yang dihadapi di sana adalah ujian keimanan dan ketakwaan, kesabaran bagi para jamaah.
Sebagai manusia biasa, setiap calon jemaah haji datang ke Tanah Suci dengan membawa segala dosa. Memohon untuk diampuni Allah SWT. Dengan hanya mengenakan pakaian ihrom yang berwarna putih itu, dan melepas segala atribut-atribut dunia, disanalah kita bersimpuh, sujud kepada-Nya dengan berlinangan air mata, memasrahkan seluruh jiwa dan raga. Pasrah pada apa yang bakal terjadi, dengan bibir terus berdzikir, dan hati yang ihsan. Ihsan adalah tahap dimana seorang muslim yakin bahwa Allah selalu menyertainya, selalu melihat apa yang diperbuat hamba-Nya. Bila ihsan sudah ada dalam jiwa seorang muslim, maka rasa takut untuk berbuat dosa akan selalu meyelimuti jiwanya. Alangkah tenangnya kehidupan bila semua muslim sudah benar-benar mengerti dan menjalankan dengan sungguh-sungguh islam, iman, dan ihsan dalam kehidupannya. Tidak hanya sebatas di bibir saja atau hanya sekedar kedok saja yang mencirikan dia seorang muslim.
Menurut Prof. Deddy Mulyana, M.A, Ph.D., “kelak bila iman sudah tertanam cukup kuat, kita dapat melangkah lebih jauh lagi. Mempelajari agama dan mempraktekkannya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan mengaji dan sebagainya memang seharusnya bukan sekedar kewajiban, tetapi sekaligus kebutuhan yang setiap saat harus kita santap demi pertumbuhan jiwa“. (Mulyana, „Islam Itu Indah“, 2006).

Ujian kesabaran
Jumlah muslim di Indonesia adalah yang terbesar di seluruh dunia, maka jumlah kuota haji yang diberikan oleh Pemerintah Saudi Arabia pun cukup besar, yaitu 212.000 orang. Jumlah tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya 200.000 orang. Dapat dibayangkan dari jutaan jamaah yang berkumpul, baik di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, jemaah terbanyak adalah dari Indonesia. Mengingat hal ini, maka tak heran Pemerintah Saudi Arabia selalu menjalin hubungan yang baik dengan Pemerintah Indonesia. Tapi ternyata, usaha-uaha maksimal yang dilakukan oleh kedua negara, kadang ada saja kendalanya. Baru-baru ini terjadi lagi masalah dalam pelaksanaan ibadah haji, yaitu terlambatnya pemberian makanan bagi para jemaah haji saat berada di Padang Arafah. Selama hampir sekitar tiga puluh jam sebagian besar jemaah hanya makan dari sisa bekal berupa makanan kecil yang mereka peroleh sebelum berangkat ke Padang Arafah. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan para jamaah yang berusia lanjut.
Dari berita yang beredar ada juga para jemaah yang saking tidak dapat menahan lapar, akhirnya mereka terpaksa meminta makanan ke jemaah dari negara lain. Sedih juga mendengarnya, sebab dari data yang ada, selama hampir 24 tahun terakhir penyelenggaraan haji Indonesia, baru kali inilah terjadi keterlambatan dalam pasokan makanan selama jemaah berada di Padang Arafah. Kalau sudah begini para jemaah sulit untuk berdebat saat sedang berada di tanah suci, karena lagi-lagi, para jemaah dihadapkan pada situasi dimana pada satu sisi mereka harus bersabar, tapi di sisi yang lain mereka merupakan korban dari buruknya sistem yang ada., yang hanya karena ada pihak yang ingin berhemat beberapa ratus riyal saja per-jemaah mengakibatkan ribuan jamaah harus menahan lapar selama sekian puluh jam. Padahal tenaga yang prima amat sangat dibutuhkan para jemaah haji saat itu, karena setelah selesai ibadah di Padang Arafah, mereka harus melanjutkan perjalanan ibadahnya ke Mina untuk melaksanakan ibadah lempar jumrah selama tiga hari, yang mana ibadah ini –berdasarkan kenyataan yang ada- cukup sulit dilakukan.
Apabila keadaan seperti ini hanya dipandang dari satu sudut saja tentu akan memancing emosi siapapun juga yang menghadapinya, karena sudah fitrahnya manusia diberi emosi oleh Allah SWT. Bisa saja emosi terpancing karena rasa kesal, marah, benci, kecewa. Ditambah lagi kondisi fisik yang tidak mendukung, lemah karena lapar dan haus. Kalau sudah demikian, maka yang terjadi adalah luapan emosi bahkan sampai bentrokan fisik. Tetapi, ada baiknya untuk reduction tension kita bawa nurani kita dengan memandang hal ini dari sudut pandang lainnya, yang lebih ke arah spiritual. Kenapa hal ini terjadi?. Saat seseorang diberi ujian, maka saat itulah Allah ingin mengetahui kualitas keima nannya. Sabar merupakan salah satu sifat yang dapat dijadikan parameter kualitas keimanan seseorang. Semakin kuat keimanan seseorang kepada Allah SWT, semakin kuat pula kesabaran yang dimilikinya, dan begitu pula sebaliknya.
Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman agar bersikap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan hidup. Seperti firman Allah, Sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar“.(QS 2 : 155).
Allah juga menyatakan bahwa orang-orang yang benar imannya hanyalah orang yang sabar (QS 2 :177), hamba yang sabar adalah pribadi yang tidak pernah mengeluh ketika cobaan datang menghantamnya, karena ia meyakini bahwa dibalik kesusahan dan cobaan itu terdapat kemudahan (QS 94 : 5-6) atau ada hikmah kebaikan yang tidak ia ketahui (QS 2 : 216).
Karena tahu bagaimana hati umatnya, maka sampai-sampai Rasulullah mengatakan : „ Sungguh aneh persoalan seorang mukmin! Sesungguhnya semua permasalahannya adalah baik baginya, hal ini tidak dimiliki kecuali oleh orang-orang mukmin. Jika mendapatkan kebaikan maka ia bersyukur dan kesyukurannya itu menjadi hak baginya, dan jika ditimpa kesusahan maka ia bersabar dan kesabaran itu menjadi milik baginya“. (HR Muslim).
Apa yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan dari hadits Nabi, dapatlah kita telaah bahwa untuk dapat mengendalikan emosi, maka anggaplah setiap permasalahan yang dihadapi adalah ujian kesabaran. Tetapi sebaliknya, selama permasalahan yang ada selalu dihadapi dengan emosi, maka selama itu pula jiwa akan terbelenggu, jauh dari iman, apalagi ihsan.
Kiranya kejadian di Padang Arafah yang baru saja dialami para jamaah haji Indonesia kemarin ini, anggaplah juga sebagai ujian dari Allah SWT yang ingin mengetahui kualitas keimanan para hamba-Nya. Apalagi ada catatan tambahan, bahwa ibadah haji tahun ini adalah haji akbar –saat yang paling diharapkan oleh setiap umat muslim- dan tidak semua orang bisa mendapatkannya. Musti diingat bahwa untuk mendapatkan pahala yang sangat besar, tentunya harus melalui ujian yang berat dahulu.
Sungguh mulia disisi Allah bagi mereka yang dapat mengendalikan segala gejolak nafsu dalam menjalankan ibadahnya, kemudian berhasil melaluinya dengan penuh kesabaran. Subhanallah !

Amal sepulang haji
Ada yang mengatakan bahwa mabrur tidaknya haji seseorang terlihat dari perilakunya sepulang haji. Terlepas dari sifat buruk seseorang sebelumnya, maka tetap yang dilihat adalah bagaimana sikap dan perilakunya sepulang haji. Atau menanyakan pada diri sendiri apa yang harus atau sebaiknya dilakukan sepulang haji. Jangan sampai gemblengan fisik dan mental yang telah diperoleh selama di tanah suci tidak memberi arti apa-apa. Amal baik yang dilakukan seseorang tidaklah harus selalu berkonotasi memberi sesuatu dalam bentuk benda pada orang lain. Senyum yang tulus ikhlas juga merupakan amal ibadah, kata-kata yang santun teratur juga cermin dari jiwa yang tenang.
Tidak hanya Taqarrub Illalah (selalu mendekatkan diri pada Allah SWT), tetapi juga selalu menjaga hubungan silaturahim dengan sesama, hablumminallah-hablumminannas. Terutama untuk Taqarrub Illalah, Nabi bersabda dalam Hadits Qudsi, bahwa Allah berfirman : “Bila ia (manusia) berjalan kepada-Ku, maka Aku akan berlari kepadanya“. Nah, begitu sayangnya Allah pada hamba-Nya, jadi mengapa kita harus ragu untuk memulai menjalankan sesuatu yang bermanfaat?. Ada pepatah mengatakan sedikit demi sedikit tapi tertanam kuat adalah lebih baik daripada tidak sama sekali. Perubahannya akan dirasa tidak saja oleh orang yang bersangkutan, tetapi juga oleh orang lain yang berhubungan dengannya. Bukan hanya menjalankan salat wajib, tapi hari-harinya diisi juga dengan shalat sunat. Mengaji tidak hanya sesekali saja, tetapi sudah setiap hari walau hanya beberapa ayat. Firman Allah : „....Maka bacalah bagian-bagian Al-Qu’an yang mudah. Ia tahu diantara kamu ada yang sakit, ada yang mengembara di bumi mencari karunia Allah, dan ada pula yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an…”. (QS Al-Muzzamil : 20). Dapat ditarik kesimpulan dari ayat ini, bahwa Allah menyuruh kita untuk menyempatkan diri membaca Al-Qur’an di tengah-tengah kesibukan kita.
Selamat datang saudara-saudaraku, para haji mabrur yang baru tiba di tanah air. Selamat telah selesai menunaikan ibadah haji yang penuh berkah. Haji mabrur balasannya adalah surga. Mulailah sesuatu yang baru dan lebih bermanfaat lagi, karena inilah saat yang tepat untuk memulai hal yang baru setelah digembleng, baik fisik maupun mental selama di tanah suci. Pertahankan terus keimanan dan ketakwaan, bahkan kalau mungkin lebih ditingkatkan lagi. Akhirnya, sebaik-baik haji mabrur adalah yang mampu memberi teladan bagi keluarga dan masyarakatnya. Semoga Allah SWT memberkati, amin.

Tidak ada komentar: