Selasa, 14 Oktober 2008

Peran Ibu Terhadap Tayangan Televisi

PEMERINTAH Indonesia telah memperhatikan dan begitu komitmen dalam memberdayakan kaum wanita, yaitu dengan adanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Selain itu anggota parlemen kini banyak diisi kaum perempuan, termasuk politisi wanita dari berbagai latarbelakang disiplin ilmu. Pada bidang pemerintahan yang paling kecil, yaitu ketua RT sampai Gubernur (Rt Atut Chosiyah), bahkan Presiden (Megawati) yang bagi sebagian negara besar seperti Amerika itu belum dilakukan.
Sedemikian besar peranan seorang ibu, maka tidaklah salah apabila keberadaannya dalam keluarga menjadi semakin berat dalam mendidik anak, terutama saat ini dimana perkembangan teknologi yang begitu maju dan pesat mengakibatkan anak-anak tidak saja mendapat didikan dari orangtuanya tetapi juga mendapat pengaruh dari lingkungan luar yang tidak semuanya bermuatan positif.
Hal yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah terpaan yang didapat dari media massa, khususnya televisi. Bahkan sudah banyak para ahli yang “mewanti-wanti” akibat yang akan ditimbulkan dari isi pesan dalam tayangan media televisi akan sangat dahsyat.

Pesan satu arah
Di kota-kota besar Indonesia termasuk daerah yang sudah mendapatkan aliran listrik terutama sejak program listrik masuk desa yang dicanangkan pada era orde baru, perkembangan pemilikan pesawat televisi terutama sejak stasiun televisi (TVRI) mengudara pada tahun 1960-an grafiknya meningkat terus.
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sering disebut era informasi, disatu sisi telah memunculkan harapan-harapan baru yang positif, namun sisi lain adalah dampak negative dari isi (content) muatan teknologi tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia kegemaran menonton televisi merupakan bagian tidak terpisahkan (berkorelasi) dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Kebiasaan membaca (Reading habbit) yang masih rendah menjadi salah satu faktor meningkatnya seseorang lebih cenderung mendengar dan melihat ketimbang membaca. Hal tersebut ditambah lagi dengan karakeristik televisi yang audio-visual memungkinkan televisi mudah dicerna. Sebagaimana proses komunikasi dari Claude D. Shannon dan Warren Weaver yang digambarkan sebagai proses linier dan searah. Pesan diumpamakan mengalir dari sumber informasi (information source) melalui beberapa komponen menuju kepada komunikan. Karena sifatnya yang satu arah dan serentak (simultan), siaran televisi dalam sepak terjangnya bagaikan obat bius yang bila disuntikkan kepada pasien menjadi tidak berdaya. Seperti teori Jarum Hypodermic, dimana idividu-individu bersifat pasif, terikat pada media dan individu yang pasif itu terpisah hubungan sosialnya
Di depan televisi, seseorang dengan tingkat pendidikan apapun mampu menghabiskan waktu luangnya dengan duduk santai menonton televisi. Karena isinya yang beragam dan “menarik”, seorang anak bahkan bisa menghabiskan waktunya berjam-jam di depan kotak ajaib tersebut.
Maka tak heran Mc Luhan dengan rumusnya yang terkenal mengatakan bahwa “Medium is the message”, artinya bagaimana pengaruh pesan menerpanya atas kehidupan komunikan atau penonton, tergantung dari penggunaan media.

Dampak tayangan TV

Seiring dengan banyaknya jumlah stasiun radio dan televisi yang bermunculan, kini timbul pula permasalahan baru yaitu bagaimana dengan isi dari pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa tersebut. Apakah layak untuk disiarkan? Mengingat dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa melalui pesan-pesan komunikasinya cukup besar.
Sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak berarti semua lapisan usia penontonnya termasuk anak-anak.Jurnalis Amerika Paul Johnson menyebutkan bahwa salah satu dosa dari kebebasan dunia televisi adalah meracuni benak pikiran anak-anak. Selain itu berupa distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, menggangu privasi,pembunuhan karakter, eksploitasi seks,dan penyalahgunaan kekuasaan (Republika, 2006).

Kekhawatiran akan dampaknya yang negative dari televisi terhadap anak bukan saja dilihat dari segi isi tetapi juga lamanya mereka menghabiskan waktunya. Prestasi belajar seorang anak menurut penelitian di Kota Yogyakarta ternyata berpengaruh terhadap prestasi belajar di sekolah. Untuk hal ini, beberapa wilayah di Kota Yogyakarta sedikit lebih maju dengan menerapkan waktu menonton televise bagi anak-anak sekolah ditentukan waktunya,dengan jadwal waktu belajar dan menonton televisi diatur dan dikendalikan orang tua dan rukun tetangga.

Sebagai Gatekeeper
Menurut B. Guntarto, Kepala Kajian Anak dan Media YKAI menyebutkan kuantitas program televisi untuk anak meningkat setiap tahunnya. Frekuensi penayangannya perminggu, bahkan per hari, juga makin tinggi. Padahal telah diungkapkan dari berbagai literatur bahwa frekuensi menonton anak tidak lebih dari 2 jam per hari.
Menghadapi fungsi mempengaruhi inilah yang bagi pemerhati perlunya televisi sehat, sebagaimana di Jakarta satu tahun lalu telah diluncurkan “Kampanye Televisi Sehat (KTS)” yang merupakan kerjasama Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Komunitas TV Sehat, dan badan PBB yang menangani masalah anak (UNICEF). Dalam pertemuan tersebut KTS mengajak stasiun televisi memperhatikan kualitas programnya dan masyarakat harus menerapkan budaya nonton televisi yang sehat.
Disinilah betapa pentingnya peran seorang ibu dalam menerapkan budaya menonton. Seorang ibu yang bijak dan berpendidikan akan lebih memahami apa dan bagaimana seharusnya dalam mendidik putra-putrinya dihadapan “kotak ajaib” yang selalu menggodanya.
Selain itu, walaupun sesibuk apapun seorang ibu, yang ideal memang ia diharapkan selalu dekat dengan buah hatinya, sehingga mampu berfungsi sebagai seorang gatekeeper. Gate keeper menurut Kurt Lewin dalam buku “Human Relations” (1974),yaitu istilah yang mengacu pada proses, bahwa suatu pesan berjalan melalui berbagai pintu, selain itu juga pada orang atau kelompok yang memungkinkan pesan lewat. Gatekeepers dapat berupa seseorang atau satu kelompok yang dilalui suatu pesan dalam perjalanannya dari sumber kepada penerima.
Seorang ibu yang berfungsi sebagai gatekeeper akan menyaring pesan yang diterima termasuk dari televisi dan mungkin akan memodifikasi dengan berbagai cara dan berbagai alasan,serta membatasi pesan yang diterima.
Jam tayang televisi yang menyiarkan adegan-adegan berbau seks, kriminal dan kekerasan dapat dieliminir dengan lebih memfungsikan peranan seorang ibu terhadap anak-anaknya lebih bijaksana, sehingga anak-anak sebagai generasi penerus bangsa tidak teracuni oleh kehadiran televisi dari aspek pesan negatifnya.
Kini dengan hadirnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik yang ada di pusat dan di daerah, peranan KPI/KPID akan memberikan harapan baru kepada orangtua karena KPI/KPID mempunyai misi sebagaimana amanat undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang meliputi bidang kelembagaan, isi siaran dan struktur pernyiaran (perizinan).
Yang dirasakan penting bagi peran yang diemban KPI/KPID saat ini adalah memantau maraknya pemberitaan tentang efek tayangan kekerasan. Ini menyangkut isi siaran yang meliputi pemantauan, pengaduan, pemberian sanksi atas pelanggaran, media literacy, diskusi/konseling dengan publik dan industri penyiaran.
Melihat dampak yang muncul di masyarakat akibat isi siaran, sudah sewajarnya kita semua, seluruh elemen masyarakat termasuk peran ibu di dalam mendidik anak- akan lebih bermakna bilamana hal tersebut ditindaklanjuti dengan peran KPI/KPID, yang susunan anggota-anggotanya memiliki kompetensi dan integritas yang tidak diragukan lagi di bidangnya. Mereka diharapkan mampu berkiprah dalam membangun moralitas penyiaran yang sehat. Semoga

PENGARUH TAYANGAN TV

“Anak-anak, di manapun mereka berada, bagaimanapun kondisi yang telah mengguncangnya, adalah generasi penerus. Mereka adalah wajah kita di masa depan. Mari kita jaga agar mereka tetap ceria meraih masa depan”. (Republika, Jumat 14 Januari 2005, Kolom GERAI).

Pernyataan di atas merupakan kalimat yang cukup menyentuh hati kita untuk diresapi lebih dalam lagi. Persoalan anak-anak sepertinya tidak dialami oleh hanya para orang tua mereka saja, tetapi juga bagi kita yang merasa bahwa persoalan anak-anak merupakan persoalan semua pihak. Lalu kita tentu akan bertanya persoalan apakah yang mengitari mereka? Mengapa sampai perlu dibahas lebih jauh lagi?
Anak-anak adalah identik dengan jiwa yang bersih, belum terkontaminasi oleh hal-hal yang mestinya belum perlu mereka alami. Terbayang oleh kita bagaimana kata “anak” mencerminkan jiwa yang lugu, polos, apa adanya. Tentunya kita tidak ingin keadaan seperti itu berubah menjadi sebaliknya. Semestinya biarkan mereka tumbuh dalam keadaan yang benar-benar alamiah, tanpa pemaksaan baik yang disengaja ataupun tidak. Tapi apakah di jaman modern seperti sekarang ini kita bisa mempertahankan cara mendidik seperti itu? Tentu saja itu sulit sekali dilakukan, mengingat perkembangan alat-alat elektronik yang begitu pesat dan canggih. Sebut saja seperti VCD, radio, komputer, televisi dan lain lain.
Yang disebut belakangan merupakan satu sarana yang bisa membuat seorang anak menjadi lebih cepat matang sebelum waktunya. Taruhlah seorang anak yang berumur 3 tahun yang masih terbata-bata bicaranya, bila mereka sering menonton televisi dengan frekuensi yang sering maka perbendaharaan kata mereka cenderung akan bertambah dengan cepat sekali. Bahkan mungkin saja tindakan yang mereka lakukan mirip dengan apa yang pernah mereka tonton.
Yang paling sederhana adalah pengalaman sebuah keluarga, sebutlah keluarga E. Keluarga ini mempunyai dua orang anak, yang berusia 4 tahun dan 1,5 tahun. Perilaku anaknya yang berusia 4 tahun itu awalnya biasa saja, lembut, gerakannya teratur. Tetapi beberapa waktu kemudian, perilakunya berubah menjadi lebih agresif setelah sering menonton film anak-anak “ULTRAMAN”.
Gerakan-gerakannya menjadi lebih cepat, tangkas, bahkan nyaris tanpa sadar cenderung mau memukul siapa saja yang ada di hadapannya. Sasaran yang menurutnya paling enteng adalah adiknya sendiri, yang baru berusia 1,5 tahun itu. Bahkan orang tuanya merasa perlu untuk terus mengawasi adiknya agar tidak berada dekat dengan kakaknya.
Yang diharapkan sebenarnya seorang kakak mestinya bisa menjaga adiknya, atau paling tidak mereka dapat main berdua. Ini hal yang memang perlu ditanamkan sejak kecil, tetapi itu semua kini sulit dilakukan kerena dikalahkan oleh tayangan-tayangan di televisi. Terbayang oleh kita bahwa film kartun adalah film yang penuh dengan cerita lucu dan menarik, tetapi ternyata kini tidak semuanya demikian. Banyak film kartun yang gambarnya lucu tetapi isi ceritanya sebenarnya memuat juga pesan-pesan untuk orang dewasa. Ini tentunya sudah tidak cocok lagi ditonton oleh anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun. Tapi apa hendak dikata, tayangan-tayangan tersebut diputar pada jam saat seorang anak usia balita harus makan pagi.
Dan kecenderungannya, kini anak – anak tersebut makan sambil menonton televisi, dengan alasan kuat kalau tidak demikian maka makannya akan susah. Kalau sudah demikian maka akan sulit untuk merubahnya kembali, karena anak sudah terpolakan untuk duduk manis di depan televisi dengan “remote” di tangannya, menonton televisi sambil makan. Melihat gejala demikian tentunya membuat kita miris juga. Bagaimana seorang anak tidak akan terkontaminasi, bila hal itu dilakukan terus menerus hingga menjadi suatu kebiasaan yang sudah terpolakan dalam otak seorang anak. Maka, tidak aneh apabila di surat kabar banyak bermunculan berita-berita tentang anak-anak yang melakukan kejahatan atau kekerasan .
ELEANOR E. MACCOBY, seorang psikolog dan mengajar di Stanford University, mengatakan bahwa hanya diperlukan satu dekade saja untuk membuat televisi menjadi bagian kebutuhan di hampir setiap rumah-rumah di Amerika. Begitu kuatnya efek televisi pada anak-anak sehingga membuat berubahnya perilaku anak-anak tersebut.
Menurut Maccoby, ada dua pendapat yang menyorot tentang televisi, yaitu pertama pendapat dari orang-orang yang pesimis, mereka sangat khawatir televisi dapat merusak pendangan anak-anak dengan tayangan-tayangannya yang bersifat kekerasan dan kejahatan. Tayangan-tayangan tersebut akan sangat mempengaruhi anak-anak dalam bertindak. Kedua, pendapat dari orang-orang yang optimis, mereka percaya bahwa televisi dapat mendidik anak-anak. Dapat memberikan mereka kesempatan untuk belajar tentang ilmu pengetahuan dan tentang kehidupan manusia di tempat-tempat atau di daerah-daerah lain. Ditegaskan oleh Maccoby bahwa belajar dengan cara demikian (audio-visual) akan menjadi suatu hal yang menyenangkan.
Bila terpaan televisi pada anak-anak ini hanya menjadi persoalan bagi para orang tua dan hanya beberapa gelintir orang yang peduli pada hal itu, maka masalahnya sulit untuk dibenahi.
Sebenarnya pihak yang memang benar-benar perlu dilibatkan adalah pihak stasiun televisi itu sendiri. Pihak televisi punya wewenang menentukan layak atau tidaknya sebuah acara ditayangkan. Di sinilah sebenarnya diperlukan orang yang benar-benar punya tanggungjawab moral yang tinggi. Bila orang yang ditempatkan di sini adalah orang yang tepat, maka dia akan memikirkan lebih dahulu bagaimana bila sebuah film ditayangkan? Apa pengaruh yang akan ditimbulkan? Apakah pantas ditayangkan pada jam anak-anak? Bagaimana jenis filmnya?
Bila film itu adalah film kartun, tetapi di dalamnya terselip pesan-pesan untuk orang dewasa, maka sebaiknya segera diambil keputusan film tersebut tidak ditayangkan pada jam tayang anak-anak. Seperti yang pernah terjadi sekitar tahun ’90 an, yaitu film kartun “THE SIMPSON’s”. Film ini menceritakan tentang sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami isteri dengan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Sebenarnya film kartun ini bila dilihat dari bentuk gambarnya lucu dan menarik, dengan ciri khas si ibu memiliki rambut yang disasak tinggi, si ayah dengan kepala botaknya, dan anak-anaknya dengan rambut yang dibentuk tajam ke atas.
Bila kita hanya melihat gambarnya sudah pasti kita akan langsung mengatakan bahwa itu film anak-anak. Tetapi sebenarnya tidak begitu. Film “The Simpson’s” , ternyata lebih banyak memuat pesan-pesan untuk orang dewasa. Itulah sebabnya setelah ada kritikan, barulah akhirnya film tersebut dipindahkan jam tayangnya, yang semula diputar pada pukul 18.00 menjadi pukul 23.00. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua film kartun merupakan film anak-anak.
Pengaruh televisi pada anak-anak memang sulit untuk dihindari. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Deppen-RI dalam Laporan Pengaruh Sosial Budaya dari Komunikasi Satelit (II), Proyek Penelitian RI 1977-1978, bahwa :
“Akibat lain daripada masuknya televisi di desa adalah banyaknya anak-anak yang meninggalkan pelajaran mengajii karena mereka lebih tertarik untuk menonton acara siaran anak-anak (kartun dan sebagainya). Sebahagian anak-anak juga mengikuti acara-acara pertunjukan televisi sampai larut malam, yang menyebabkan mereka tidak lagi mempunyai waktu untuk belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah. Akibatnya sebagaimana diceritakan oleh beberapa orang guru, bertambah murid-murid yang membolos, zmengantuk di kelas, dan mundur pelajarannya”.
Kalau yang dimaksud adalah pengaruh positif memang tidak perlu untuk dikhawatirkan, tetapi bila pengaruh itu negatif seperti yang terjadi di desa di mana Deppen RI -saat itu-mengadakan penelitian, maka itulah yang menjadi masalah.
Saat ini, sudah ada stasiun televisi yang mencantumkan kode-kode tertentu di ujung layar bila suatu acara tertentu sedang ditayangkan. Kode-kode tersebut adalah : D (dewasa), SU (semua umur), dan DO (didampingi orang tua) atau BO (bimbingan orangtua). Ini bisa dikatakan sebagai suatu langkah maju dalam mengantisipasi menyebarnya informasi yang tidak pantas diserap oleh anak-anak. Dengan kode-kode tersebut, para orang tua mudah mengetahui jenis acara mana yang cocok ditonton oleh anak-anak mereka.
Menurut ELEANOR E. MACCOBY, agar anak-anak tidak terlalu kena pengaruh negatif dari tayangan-tayangan televisi, maka perlu diperhatikan :
1. Kapan anak-anak punya batas waktu menonton televisi?
2. Berapa lama mereka melewatkan waktunya untuk menonton televisi?
3. Jenis program apa yang mereka tonton?
Bila kita memperhatikan point-point pertanyaan di atas dan menjawabnya sendiri, maka sepertinya para orangtua tidak perlu merasa khawatir akan pengaruh kuat televisi pada perilaku anak-anak mereka, karena orangtua turut berperan serta dalam mengawasi apa yang patut dan tidak patut ditonton oleh anak-anak mereka. Masalahnya sekarang adalah sampai sejauhmana kepekaan orangtua dalam memilih, memilah dan memperhatikan tayangan-tayangan televisi yang sedang ditonton anak-anak mereka di rumah. Tentunya tidak ada satupun orangtua yang ingin anaknya terpengaruh oleh pesan-pesan negatif televisi.

Memaknai Kemerdekaan Masa Kini

TEPAT tanggal 17 Agustus 2007 yang baru lalu, negara Indonesia sudah 62 tahun menghirup udara kemerdekaan. Bila dipadankan dengan manusia, maka dalam usia ini sudah memasuki tahap yang matang secara mental, yang memberi kesan mapan, teratur. Dan hal ini pula yang sangat diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, bangsa Indonesia. Namun, lagi-lagi tiada sesuatu yang sempurna, apalagi manusia. Sama halnya dengan Negara, yang bagaimanapun juga pengaturnya adalah juga manusia. Manusia yang penuh kekurangan disana-sini, walaupun memang ada juga kelebihannya. Manusia yang punya kepentingan, manusia yang punya ego. Kiranya untuk ini diperlukan orang-orang yang dapat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Siapapun dia, bangsa apapun dia, akan selalu mendambakan negaranya selalu aman, tenang, tentram dan damai. Rakyat dapat hidup layak, pemerintah bersikap transparan dalam menjalankan kebijakannya, ekonomi stabil, politik stabil, hukum benar-benar dijalankan dan hidup beragama pun dapat dijamin keamanannya oleh negara, sehingga negara yang paripurna dapat terwujud. Tapi untuk mewujudkan hal itu perlu pengorbanan dan kerja keras serta adanya komitmen yang kuat dari setiap lapisan masyarakat .
Apalagi bila ditelaah, bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau, dengan keanekaragaman bahasa yang jumlahnya mencapai 583 dan juga suku bangsa yang jumlahnya mencapai 485. Tiada bangsa lain di dunia yang memiliki keragaman bahasa dan suku bangsa melebihi Indonesia. Di satu sisi kita patut berbangga hati tapi di sisi yang lain kita juga mesti berhati-hati dengan jumlah suku bangsa dan bahasa yang sangat banyak ini. Sebab tentu saja akan berbeda dalam penanganannya dan jelas lebih sulit.
Menangani sebuah negara yang masyarakatnya homogen saja sudah cukup rumit apalagi yang masyarakatnya heterogen dan dengan jumlah penduduk yang sudah mencapai 225 juta , diperlukan strategi yang tepat untuk mengaturnya. Selain strategi, maka yang pertama-tama penting dilakukan adalah menempatkan orang yang juga tepat untuk mengaturnya. Kiranya teori manajemen mengenai the right man on the right place penting juga untuk sungguh-sungguh diterapkan, atau untuk sekedar sebagai warning, meminjam hadist nabi yang mengatakan, bahwa bila suatu perkara diselesaikan oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Klop sudah bila antara teori dan paktik dapat kita sandingkan bersama.

Mengukur kemajuan
Dengan usia kemerdekaan yang sudah 62 tahun, perlu juga kita bertanya, kemajuan apa yang sudah dicapai Indonesia hingga saat ini? Tentunya untuk menjawab pertanyaan ini yang paling objektif adalah rakyat, bukan siapa-siapa. Sudahkah mereka merasa hidup layak? Sudahkah hukum melindungi mereka? Sudahkah para buruh mendapat gaji yang sesuai dengan aturan UMR? Bagaimana dengan para guru, apakah mereka sudah mendapat perhatian yang cukup? dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu bangsa.
Kemajuan disini bukan saja kemajuan secara fisik dengan adanya pembangunan gedung-gedung yang tinggi dan megah, tetapi juga kemajuan mental berpikir para pengatur, pengelola dari setiap kalangan, yaitu birokrat, ulama, pengusaha, tokoh masyarakat, seniman, budayawan, guru, dosen dll.
Bahkan Samuel Huntington (2000) mengatakan bahwa kemajuan suatu bangsa itu tergantung pada produktivitasnya, sedangkan produktivitas amat sangat bergantung pada insentif yang diterima oleh pekerja. Dilematis memang, bila para buruh diwajibkan memberikan hasil yang maksimal dalam pekerjaannya, maka tentunya ada hak yang harus mereka terima sesuai dengan tenaga yang telah mereka keluarkan. Lalu bagaimana bila rakyat tidak merasa puas? Hasilnya dapat kita simak sendiri banyaknya media massa, baik cetak maupun elektronik yang memuat tentang demonstrasi para buruh. Sebut saja kasus pabrik sepatu PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) dan PT Naga Sakti Parama Shoes Industry (NASA), beberapa waktu lalu, yang sudah tidak mendapat kontrak order lagi dari Nike, sehingga menyebabkan pemiliknya- Hartati Murdaya- berpikir keras untuk tetap memenuhi kewajibannya membayar gaji untuk ribuan karyawannya. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain dengan skala nasional, seperti PT Dirgantara Indonesia, kasus Lapindo Brantas yang belum tuntas juga dengan isu ganti rugi sengaja diulur.
Ahmad Syafeii Maarif berpendapat tentang kasus ini bahwa tidak tampak upaya yang benar-benar serius dari pihak yang terlibat untuk mengatasinya (Republika,14 Agustus 2007). Atau bahkan demo para guru yang menuntut ditingkatkannya kesejahteraan bagi para guru, serta tuntutan agar bidang pendidikan nasional mendapat jatah 20% dari APBN, juga yang kini sedang marak di Banten adalah para Guru Bantu Sosial (GBS) yang menuntut untuk diangkat menjadi PNS.
Kiranya benar juga, teori dan praktik sebaiknya memang seiring sejalan. Abraham Maslow sudah mendeteksinya sejak awal dengan teorinya yang terkenal yaitu Teori Hirarki. Menurutnya manusia adalah manusia bukan mesin produksi. Manusia punya hati dan perasaan, dan manusia punya lima tingkatan kebutuhan yang penting untuk dipenuhi dan disusun berdasarkan skala prioritas, yaitu kebutuhan akan sandang-pangan, kebutuhan akan rasa aman, cinta, kebutuhan untuk dihargai dan terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Semestinya setiap kalangan dapat menerapkan teori Maslow ini, sehingga mungkin saja permasalahan yang muncul tidaklah terlalu berat, karena dengan teori ini manusia dianggap sebagai sosok yang patut untuk dihargai. Bila diterapkan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari adalah bagaimana setiap kalangan, baik itu birokrat, pengusaha, ulama, tokoh masyarakat, seniman, budayawan dan lain-lain mengawali segala sesuatunya dengan komitmen tinggi untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain terutama rakyat kecil dan bekerja dengan hati nurani, begitu kata Todung Mulya Lubis yang seorang ahli hukum. Ternyata ini sejalan juga dengan apa yang dikatakan Jalaludin Rumi- yang seorang sufi. Rumi menganggap bahwa hati nurani 70% mengatakan kebenaran.
Bila teori Maslow diterapkan oleh seorang manajer, maka semestinya dapat memperlakukan para karyawan atau buruhnya dengan baik. Tidak hanya sekadar memberikan gaji secara rutin lalu permasalahan selesai, tetapi juga memperhatikan kenyamanan dalam bekerja, lingkungan kerja yang bersih, ventilasi yang cukup sehingga udara tetap segar, menyediakan tempat untuk beribadah, selalu mengadakan kontak komunikasi dengan para karyawan dan buruhnya, bahkan memberikan penghargaan bagi karyawan atau buruh yang telah menunjukkan hasil kerja yang baik. Jadi yang dicari bukan hanya semata-mata keuntungan dan mementingkan diri sendiri. Sedangkan bagi para guru atau dosen, adalah menanamkan niat yang kuat dalam hati dan pikirannya untuk bukan hanya sekedar mengajar tetapi juga mendidik. Tugas mulia seorang pendidik adalah bagaimana membuat anak didik yang cenderung punya sikap memberontak saat masuk sekolah menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab setelah lulus, atau anak didik yang memang sudah baik maka setelah lulus menjadi lebih baik lagi. Perlu diingat pula bahwa peran pendidik adalah pengganti orangtua mereka saat mereka berada di sekolah. Begitu pula dengan kalangan yang lain kiranya dapat juga menerapkan teori ini dengan sungguh-sungguh, sebab sikap empati kita terhadap orang lain biasanya dapat membuat orang lain lebih menghargai kita.

Tanggungjawab kemanusiaan
Bila kembali direnungi lebih dalam lagi menurut Syafii Maarif sebenarnya kemerdekaan juga mengandung makna tanggung jawab kemanusiaan bagi mereka yang teraniaya. Lalu jika sampai saat ini masih banyak pihak-pihak yang teraniaya, apakah kemerdekaan yang seutuhnya sudah kita raih?. Saat ini Rakyat masih harus antri minyak goreng yang harganya terus membumbung, bahkan diprediksi sulit untuk turun. Dan kini ditambah dengan masalah lain lagi dimana lagi-lagi rakyat kecil yang kena getahnya dengan naiknya harga minyak tanah. Masyarakat bawah sudah terbiasa memasak dengan menggunakan minyak tanah, itu sudah nyaman bagi mereka. Bila akhirnya pemerintah menginginkan mereka merubah kebiasaan dengan memasak dengan kompor gas tentu saja harus diawali dengan sosialisasi lebih dahulu melalui kampanye yang cukup lama dan intensif, tidak tiba-tiba.
Kiranya memang sulit untuk mengisi alam kemerdekaan yang diraih dengan susah payah oleh para pejuang kemerdekaan kita dahulu. Kalau dahulu yang mereka hadapi adalah musuh yang harus dilawan dengan senjata tajam, tetapi kini untuk mengisi kemerdekaan harus dihadapi dengan pikiran yang brilian dan disertai dengan hati nurani sebab yang dihadapi adalah musuh-musuh yang mampu menggoyah karena punya kekuasaan dan kemampuan ekonomi yang kuat. Semoga dari jumlah penduduk Indonesia yang 225 juta jiwa ini masih ada calon-calon pemimpin yang cerdas, bijak dan punya sensitivitas yang tinggi terhadap rakyat kecil untuk mampu membawa negara Indonesia menjadi negara yang diidam-idamkan, yaitu gemah ripah loh jinawi.

Manipulasi Komunikasi

KITA sering mendengar kata komunikasi. Bahkan, dalam kegiatan kita sehari-hari pun tidak luput dari komunikasi. Kata komunikasi sendiri tidak asing bagi kita. Tapi, apakah sebenarnya komunikasi itu?
Menurut Drs MO Palapah & Drs Atang Syamsudin, komunikasi adalah ilmu tentang pernyataan manusia yang menggunakan lambang-lambangnya yang berarti. Yang dimaksud lambang-lambang di sini adalah lambang-lambang verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah pernyataan berupa lisan maupun tulisan. Sedangkan lambang non verbal adalah dengan isyarat yang mengandung makna tertentu seperti senyuman, lambaian tangan, kerlingan mata, dan kening yang berkerut. Semua itu ungkapan seseorang yang pada dasarnya adalah komunikasi.
Kegiatan berkomunikasi, baik dilakukan dua orang yang biasa disebut komunikasi antar-person maupun komunikasi massa, komunikasi dengan menggunakan media massa (TV, radio, surat kabar, film) bisa saja mendapat gangguan yang dalam istilah konumikasi model Shannon dan Weaver disebut noise, yakni setiap rangsangan tambahan dan tidak dikehendaki yang dapat mengganggu kecermatan pesan yang disampaikan. Ahli-ahli komunikasi kini memperluas konsep pada gangguan ini menjadi gangguan psikologis dan gangguan fisik.
Selain hambatan di atas, ada hambatan komunikasi lainnya yang terjadi karena beberapa faktor antara lain faktor kepentingan yang berbeda antara orang yang berkomunikasi, faktor motivasi yang kurang kuat, faktor bahasa yang berbeda-beda arti/maknanya bahkan bertolak belakang. Hambatan selanjutnya adalah prasangka (prejudice)
Prasangka adalah salah satu hambatan yang berat terhadap suatu kegiatan komunikasi. Sebab, orang yang mempunyai prasangka belum apa-apa sudah bersikap was-was, dan biasanya akan menentang pesan yang diterima. Dalam prasangka, emosi memaksa seseorang untuk menarik kesimpulan atas dasar syak wasangka tanpa menggunakan pikiran yang rasional.
Ilustrasi di atas adalah komunikasi yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena adanya hambatan atau gangguan. Tetapi, suatu kegiatan komunikasi juga dapat berjalan efektif seperti yang diharapkan bahkan dapat memberikan efek yang positif.
Lalu bagaimanakah agar komunikasi itu dapat berjalan efektif? Auatu komunikasi dapat berjalan apabila ada faktor-faktor yang dipenuhi dalam kegiatan komunikasi tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah pertama, adanya keterbukaan (openness). Keterbukaan menunjukkan adanya sikap saling terbuka di antara pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan) dalam melangsungkan kegiatan komunikasi. Kedua, empati (empathy), yaitu kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya dalam peran orang lain, sehingga komunikan dapat memahami apa yang sedang dialami oleh lawan bicaranya. Ketiga, kepositifan (positiveness), yaitu sikap yang positif terhadap diri sendiri maupun terhdap orang lain, baik dalam bersikap maupun cara berpikirnya. Keempat, dukungan (supportiveness), yaitu sikap pelaku komunikasi yang mendukung terjadinya komunikasi tersebut. Kalau pihak yang diajak berkomunikasi tersebut sudah menolak sejak awal, maka komunikasi yang diharapkan tidak akan terjadi. Kelima, kesamaan (equality), yaitu adanya unsur kesamaan yang dimiliki oleh pihak yang berkomunikasi. Misalnya adanya kesamaan bahasa dan budaya akan memudahkan terjadinya komunikasi yang efektif. Tentunya, setiap orang selalu mengharapkan keberhasilan berkomunikasi dalam setiap kegiatannya, baik di rumah, di kantor ataupun di mana kita beraktivitas.
Manipulasi
Lalu, apa itu korupsi komunikasi dan manipulasi komunikasi? Apabila kita berkomunikasi atau menyampaikan informasi dari seseorang atau lembaga kepada pihak lain, tidak menutup kemungkinan pesan-pesan komunikasi atau informasi yang terkirim mengalami pengurangan atau penyimpangan, penambahan makna atau arti dari sebuah pesan yang sebenarnya. Dalam ilmu komunikasi hal ini sering disebut sebagai korupsi komunikasi dan manipulasi komunikasi.
Biasanya, korupsi komunikasi maupun manipulasi komunikasi terjadi antara dua pihak yang mempunyai kepentingan tertentu dengan maksud menggagalkan atau menjatuhkan kepentingan pihak lainnya, layaknya propaganda perang yang berusaha menjatuhkan moral/mental musuh. Kini, untuk mencapai komunikasi yang efektif memang memerlukan adanya kekuatan untuk memiliki faktor-faktor tersebut di atas dan mampu mengeliminir adanya korupsi komunikasi maupun manipulasi komunikasi yang terjadi di sekitar kegiatan kita. Semua itu akan dapat terpecahkan bila kita memahami apa dan bagaimana ilmu komunikasi dipelajari dan diaplikasikan dalam berbagai bidang atau dimensi kehidupan sesuai tujuannya

Komunikasi Transendental

SEBAGAI makhluk sosial, kita perlu berhubungan, bergaul dengan sesama manusia lain. Itu merupakan sisi dinamis dari manusia. Hubungan yang dilakukan atau dijalin setiap saat merupakan kegiatan berkomunikasi.
Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah komunikasi antarpersona, komunikasi intra persona, dan komunikasi isyarat. Sedangkan komunikasi yang dilakukan antara manusia dengan Tuhannya, dalam ilmu komunikasi disebut komunikasi transendental. Keempat bentuk komunikasi tersebut dalam istilah Islam dikenal dengan sebutan hablu minnallah dan hablu minannas.
Komunikasi transendental memang tidak pernah dibahas secara luas, cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam bidang agama.
Prof. Dedy Mulyana, pakar ilmu komunikasi, mengatakan bahwa bentuk komunikasi ini paling sedikit dibicarakan dalam disiplin ilmu komunikasi, tetapi justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia. Karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia tetapi juga di akhirat. Dalam komunikasi transendental, tanda-tanda atau lambang-lambang Allah SWT lazim disebut ayat-ayat Allah. Dan ayat-ayat Allah itu terbagi atas dua, yaitu ayat-ayat Quraniyah (firman Allah dalam Alquran) dan ayat-ayat kauniyah (alam semesta).
Ke dua ayat tersebut saling mengisi dan menjelaskan. Karena dalam Alquran tercantum dengan rinci bagaimana luasnya alam semesta yang bisa kita lihat dengan kasat mata dan menjelaskan pula tentang alam barzah, alam akhirat, surga dan neraka sebagai alam ghaib.
Alquran juga berisi perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Apabila ingin disebut sebagai partisipan komunikasi transedental yang baik, tentulah kita harus mempersepsi secara akurat lambang-lambang yang difirmankan Allah SWT, yaitu patuh pada perintah-perintah-Nya, seperti bertauhid, salat, puasa, zakat, dan berhaji (bila mampu). Dan menjauhi larangan-larangan-Nya, seperit bebuat musyrik, berzina, menipu, mengkonsumsi makanan dan minuman haram, membunuh, dan sebagainya.
Sedangkan ayat-ayat kauniyah-Nya antara lain seperti yang difirmankan-Nya dalam Alquran surat Ar-Rum ayat 20-24. Dalam lima ayat tersebut termuat tentang manusia yang diciptakan dari tanah, istri-istri dan kasih sayang di antara mereka, penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulit manusia, tidur, kilat dan hujan. Semua itu adalah ayat-ayat-Nya.
Sebagai partisipan komunikasi transedental yang efektif tentunya hati kita akan mudah tersentuh begitu melihat bulan dan bintang-bingan yang bertebaran di langit pada malam hari karena menganggap bahwa itu bukan sekedar fenomena alam, tetapi adalah bentuk perwujudan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Juga hati kita akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Apabila hati sudah benar-benar tersentuh, kita akan menitikkan air mata bahkan menangis tersedu mengingat betapa kecilnya kita sebagai manusia di hadapan-Nya.
Aplikasi yang sesungguhnya dari komunikasi transendental adalah pada saat kita mendirikan salat, berdzikir dan berdoa. Salat pada dasarnya adalah saat di mana manusia berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. Pada saat itu, sebenarnya tidak ada pembatas antara manusia dengan Allah SWT. Komunikasi langsung terjadi asal kita benar-benar punya keyakinan yang kuat bahwa Allah ada di hadapan kita sedang memperhatikan dan mendengar doa kita. Takbir, ruku dan sujud adalah bentuk kita tawadhu pada-Nya, memasrahkan seluruh jiwa dan raga kita pada Allah SWT.
Salat yang dilanjutkan dengan dzikir dan doa akan sangat membantu menenangkan hati, jiwa dan raga kita sehingga gerak langkah kita hidup di dunia adalah atas dasar tuntunan Nya. Kita harus yakin bahwa tuntunan dan perlindungan Allah SWT dapat membuat hidup kita penuh makna untuk bekal di dunia dan akhirat sebagai perwujudan dari komunikasi transendental yang efektif.***

Komunikasi Antarbudaya

INDONESIA adalah negara kepulauan, terdiri dari 17.508 pulau, 485 suku bangsa dan 583 bahasa daerah. Kenyataan itu sangat fantastis. Dengan begitu beragamnya suku bangsa, bahasa, dan adat istiadat, kita tetap dipersatukan oleh satu bahasa, yaitu Bahasa Indonesia. Sehingga informasi atau pesan kebudayaan dari masing-masing suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda itu tetap bisa disimak.
Hubungan yang terjadi di antara berbagai suku bangsa tersebut tentu saja melalui suatu proses komunikasi. Jika proses komunikasi ditinjau dari segi komunikasi antarbudaya, maka bukanlah semata-mata terjadi proses tukar menukar barang seperti di pasar, tetapi terjadi suatu proses tukar menukar segi kebudayaan. Hal itu meliputi bahasa, religi, sistem ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem organisasi sosial dan kesenian.
Menurut Gerhard Malatzke, komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Edward Hall. Bidang ini sebenarnya bukan fenomena baru, komunikasi antarbudaya sudah ada sejak pertama kali orang-orang berbeda budaya saling bertemu dan berinteraksi, meskipun studi yang sistematik mengenai bidang ini baru dilakukan selama 30 tahun terakhir.
Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda suku bangsa, kelompok ras, atau komunitas bahasa, maka komunikasi tersebut disebut komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya bersangkutan, apa yang layak dikonumikasikan, bagaimana cara mengkomunikasikan pesan-pesan tersebut.
Dengan mengetahui ciri dasar budaya dari tiap-tiap suku bangsa, akan mengurangi keterkejutan budaya (gegar budaya), memberi kepada kita wawasan terlebih dahulu dan memudahkan kita untuk berinteraksi dengan suku bangsa lain yang sebelumnya sulit kita lakukan. Dari interaksi ini selanjutnya akan cenderung terjadi relasi.
Sebenarnya keanekaragaman budaya bukanlah sesuatu yang akan hilang pada waktu mendatang, yang memungkinkan kita merencanakan strategi berdasarkan asumsi saling memahami. Dari sini kemudian akan timbul “empathy” dari diri kita terhadap orang-orang dari suku bangsa lain. Adanya saling memahami dan pengertian di antara orang-orang berbeda budaya akan mengurangi konflik yang selama ini sering terjadi. Konflik biasanya terjadi karena berbedanya persepsi mengenai nilai-nilai antarbudaya. Hal yang keramat bagi satu suku bangsa boleh jadi merupakan hal yang dianggap biasa bagi suku bangsa lainnya. Situasi seperti ini sebenarnya bisa dicari jalan keluarnya, yaitu dengan pemahaman yang mendalam mengenai budaya lain dan tahu strategi pendekatannya. Agak sulit memang untuk memahami secara detail sebanyak 485 suku bangsa yang tersebar di pulau-pulau yang berbeda dan dibatasi oleh laut yang cukup luas. Tentu saja ini mempengaruhi pesan komunikasi yang hendak disampaikan.
Tapi kita harus optimis mengenai perbedaan budaya di Indonesia. Karena pada dasarnya hal itu merupakan salah satu kekayaan dari Negara Republik Indonesia. Dan ini adalah tantangan bagi kita, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang ilmu komunikasi.*

Iman & Komunikasi Transendental

Bulan ramadhan adalah bulan yang suci, bulan pintu maaf yang dibuka selebar-lebarnya oleh Allah SWT bagi mereka yang menjalankan ibadah, berbuat amalan saleh, juga bagi mereka yang bertaubat. Bulan ramadhan bulan yang penuh berkah, dimana di dalamnya terdapat malam lailatul qadr pada 10 hari terakhir, yaitu malam seribu bulan yang nilai pahalanya berlipat ganda. Suatu hal yang merugikan bila bulan yang suci ini dilewatkan begitu saja tanpa diisi dengan beribadah kepada Allah SWT.
Bagi umat muslim, cara mendekatkan diri pada Allah SWT tentu bermacam-macam, yaitu dengan shalat lima waktu, berpuasa, shalat sunat, berdzikir, menunaikan zakat, beribadah haji, infaq, sadaqah, dll. Semua itu adalah bentuk ibadah, yang dilakukan oleh umat muslim untuk mencari ridlo Allah SWT.
Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang berbunyi : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan Shalat, dan menunaikan Zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (beriman) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”
Dalam disiplin Ilmu Komunikasi, bentuk pendekatan diri pada Sang Maha Pencipta disebut Komunikasi Transendental. Komunikasi transendental adalah komunikasi yang dilakukan atau yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, partisipan dalam komunikasi transendental adalah Tuhan dan manusia.
Antar manusia dengan tuhan
Pembahasan secara khusus mengenai komunikasi transendental (selain Al-qur’an dan hadits) memang tidak banyak. Itu pun diakui oleh seorang pakar Ilmu Komunikasi, Prof. Dr. Deddy Mulyana, MA. Walaupun ada, cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam bidang agama.
Lebih lanjut Deddy mengatakan, meskipun komunikasi transendental paling sedikit dibicarakan dalam disiplin Ilmu Komunikasi, karena sifatnya yang tidak dapat diamati secara empiris, justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia, karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia tetapi juga di akhirat.
Dari pemaparan di atas, kita sudah memiliki gambaran apa sebenarnya komunikasi transendental. Pertanyaan selanjutnya adalah apa feedback dari komunikasi transendental dan apa efek yang diharapkan dari komunikasi transendental bagi mereka yang melakukannya.
Tanda-tanda atau lambang-lambang dari komunikasi transendental, yaitu ayat-ayat Qur’aniyah (firman Allah SWT) dan ayat-ayat Kauniyah (alam semesta dan seisinya).
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imron, ayat 190 – 191 : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Yang terkandung dalam ayat ini adalah betapa Allah SWT kuasa menciptakan langit dan bumi. Bagaimana kita tidak terkagum-kagum dengan melihat isi alam semesta ini. Langit yang penuh dengan bintang-bintang bertebaran di malam hari. Benda gemerlap ini bagaikan titik sinar, yang pada ukuran sebenarnya adalah seukuran matahari, bahkan mungkin ada yang lebih besar dari matahari.
Bumi yang bulat beredar mengelilingi matahari sesuai orbitnya, dengan kecepatan yang konstan. Isi bumi yang dihuni oleh manusia ini punya kelebihan-kelebihan dibanding planet-planet yang lain, itulah yang menyebabkan manusia hanya dapat hidup di planet bumi ini. Hutan yang hijau, barang tambang yang tersimpan dalam perut bumi, udara yang diperlukan, air yang berlimpah, dan masih banyak lagi rizki yang Allah limpahkan bagi manusia di muka bumi ini.
Dengan kasih sayang yang telah Allah berikan itu, tentu tidaklah pantas apabila kita tidak merasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia. Bila ditelaah, Galaksi Bima Sakti berdiameter 80.000 tahun cahaya. Di dalam galaksi seluas ini terdapat sebanyak 100 milyar bintang-bintang sebesar matahari. Lalu apa arti kita sebagai manusia bila dibandingkan dengan segala ciptaan Allah yang ada di alam semesta ini? Tentu saja manusia hanyalah bagian kecil dari kehidupan alam semesta ini. Melihat ini masih akankah kita mengingkari segala kebesaran-Nya?
Firman Allah yang disebut berulang-ulang terdapat dalam surat Ar-Rahman, salah satu diantaranya pada ayat 13, yaitu : “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Allah SWT tentu punya maksud dengan menyebut kalimat tersebut berulang-ulang sampai 30 kali hingga di akhir surat.
Surat ini memberi peringatan kepada manusia untuk selalu ingat akan kebesaran Allah, akan nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia agar manusia tidak angkuh, tidak sombong atas apa yang telah diperolehnya. Semua yang dimiliki hanyalah titipan belaka selama hidup di dunia, karena hidup yang sebenarnya adalah hidup sesudah mati atau alam akhirat.
Sarana ibadah
Dengan berpegang pada Al-Qur’an akan makin mendekatkan manusia pada Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Apabila manusia sudah mencapai tahap ini, maka yang ingin dilakukan adalah terus beribadah pada-Nya. Entah itu ibadah shalat yang wajib atau bentuk ibadah lainnya, seperti shalat sunat, berdzikir, dll. Seringnya frekuensi komunikasi yang dilakukan antara manusia dengan Tuhannya, akan makin meningkatkan kepekaan hati manusia terhadap tanda-tanda atau lambang-lambang kebesaran Allah SWT.
Bathin yang telah terasah oleh kalimat-kalimat Allah membuat tidak ada lagi tirai pembatas antara manusia dengan Tuhannya. Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Umar Bin Khattab, berkata : “Hatiku telah melihat Tuhanku karena hijab (tirai) telah terangkat oleh taqwa. Barangsiapa yang telah terangkat hijab (tirai) antara dirinya dan Allah, maka menjadi jelaslah di dalam hatinya akan gambaran kerajaan bumi dan kerajaan langit”.
Rupanya dengan ketaqwaanlah akan mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Ketaqwaan seseorang akan tercermin dalam sikapnya sehari-hari. Hatinya akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Selanjutnya dia akan menitikkan air mata, bahkan menangis tersedu menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Sang Maha Pencipta. Inilah feedback dari komunikasi transendental.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan dialog yang sebenarnya terjadi antara manusia dengan Tuhannya saat sang hamba membaca surat Al-Fatihah, yaitu; Seorang hamba berkata : “Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam”.
Allah menjawab : “Hamba-Ku telah memuji-Ku”.
Sang Hamba berkata : “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Allah menjawab :” Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”.
Sang hamba berkata : Raja yang menguasai hari pembalasan”.
Allah menjawab : “ Hamba-Ku telah memuliakan-Ku”.
Sang hamba berkata : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
Allah menjawab : “Ayat ini antara Aku dan hamba-Ku setengah-setengah dan hamba-Ku berhak atas apa yang ia minta”.
Sang hamba berkata : “Tunjukilah aku ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang sesat”.
Allah menjawab : “Itu semua untuk hamba-Ku dan hamba-Ku berhak atas apa yang ia minta”.
Bisa kita rasakan keindahan dialog ini, bagaimana Allah SWT menjawab saat seorang hamba memuji-Nya. Memang manusia tidak akan mendengar suara Allah SWT melalui telinganya, tetapi sekali lagi dengan mata hati yang telah terasah tajam, suara itu akan terdengar di dalam lubuk hatinya. Bahkan kata ahli sufi Islam Jalaludin Rumi, “Mata hati punya kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran daripada dua indera penglihatan”. Kalau bathin seseorang sudah merasa dekat dengan Allah, maka Allah tidaklah jauh darinya tetapi kedekatannya ada di urat lehernya.
Lalu bagaimana dengan efek yang diharapkan dari komunikasi transendental ini? Efek yang diharapkan tidak lain dan tidak bukan tentu saja perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih sabar dan tawakal, setiap langkah yang diayunkan adalah tuntunan dari Allah SWT. Bulan ramadhan ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk memulainya, apalagi kita sudah memasuki 10 hari terakhir, saatnya kita mencari lailatul qadr. Sanggupkah kita mencapai tingkat itu? Semoga !